Sosok 2 dari 3 Juru Bahasa Bersertifikat Internasional di Indonesia

 

Untuk bisa mendapat sertifikat, Tiya dan Inanti Diran harus mengantongi 500 jam kerja di beragam konferensi internasional. Juga, rekomendasi juru bahasa berbagai negara. Kalau momen mengesankan Tiya saat mendampingi direktur IMF di Lombok, Inanti mengalaminya dalam pembukaan Disneyland di Hongkong.

SHABRINA PARAMACITRABadung

PADA detik-detik di sebuah siang pertengahan Oktober lalu itu, Tiya Diran seperti harus “bertempur” dalam dua front. Indra pendengaran dan pengucapannya mesti menginterpretasikan dengan tepat apa yang disampaikan Christine Lagarde. Tapi, di sisi lain, hatinya seperti menjerit keras, “Ya Allah, kasihan sekali.”.

Sebab, di hadapannya, saat mendampingi direktur pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) tersebut di Lombok, tampak ibu-ibu yang kehilangan para suami. Juga, anak-anak yang tak lagi berorang tua. Serta, rumah dan sekolah yang rata dengan tanah. Semua akibat dampak guncangan gempa Lombok.

“Baru kali itu saya kerja di daerah bencana. Haru sekali,” ucap perempuan 51 tahun itu.

Itulah salah satu momen paling berkesan dari sederet panjang pengalaman Tiya sebagai juru bahasa tersertifikasi. Di seluruh Indonesia, hanya tiga orang yang meraih sertifikat dari The International Association of Conference Interpreters (AIIC), organisasi juru bahasa yang mendapat pengakuan dari berbagai organisasi internasional.

Tiya salah satunya. Dua lainnya adalah sang kakak yang juga dosen Universitas Indonesia (UI), Inanti Diran. Dan, Tengku Melinda yang, seperti Tiya, mantan broadcaster TVRI.

Beda juru bahasa dan penerjemah ada pada medium mereka bekerja. Kalau penerjemah di ranah tulis, juru bahasa di ranah lisan. Lisan pun macam-macam bentuknya.

Ada yang sistemnya menerjemahkan langsung word by word apa yang disampaikan narasumber. Seperti yang biasa dijumpai dalam berbagai konferensi internasional. Ada yang narasumbernya berbicara dalam beberapa detik, berhenti, diterjemahkan juru bahasa, lantas berbicara lagi. Atau istilahnya juru bahasa konsekutif.

Untuk sampai ke titik yang membawanya ke berbagai ajang bergengsi dan bertemu dengan banyak tokoh dunia itu, jalan yang ditempuh Tiya sungguh tak mudah.

Semua bermula dari protes Presiden (ketika itu) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam sejumlah event internasional. Khususnya saat menghadiri Konferensi G20 di Los Cabos, Meksiko, pada 2012.

Presiden kelahiran Pacitan, Jawa Timur, itu mendapat juru bahasa dari panitia yang bisa menerjemahkan bahasa Indonesia, tapi bukan orang Indonesia. Melainkan warga asing yang mempelajari bahasa Indonesia. Alias, bukan native speaker atau penutur asli bahasa Indonesia.

“Yha kawrena juwru bahasanya ngomongnyha seperwtiy iniyw, jhyadinya Pak SBY tcidak mengerwti,” ucap Tiya sambil menirukan logat bule ketika berbicara dalam bahasa Indonesia.

SBY juga protes lantaran mendapat juru bahasa yang hanya bisa bahasa Melayu (Malaysia). Bukan bahasa Indonesia. Menurut Tiya, SBY kecewa karena merasa dunia internasional cenderung asal-asalan dalam memfasilitasi juru bahasa Indonesia.

“Ya, masak juru bahasanya menerjemahkan 7 percent (7%) itu 7 per ratus. Maksudnya sih 7 persen, tapi kan susah juga kita orang Indonesia mengerti bahasa Melayu itu,” lanjut Tiya yang mempunyai nama asli Angistiya Pinakesti tersebut.

Menurut ibu tiga anak itu, tak bisa dimungkiri, hal tersebut terjadi akibat kesalahan orang Indonesia yang selalu bilang, “Do you speak bahasa?” kepada warga asing. Jadilah dunia internasional memandang bahwa bahasa Melayu dengan bahasa Indonesia itu sama. Padahal, jelas jauh beda.

SBY pun kemudian meminta Kementerian Luar Negeri yang saat itu dipimpin Marty Natalegawa untuk menyediakan juru bahasa. Yang tak hanya fasih berbahasa Inggris dan Indonesia, tapi juga berasal dari Indonesia dan warga negara Indonesia.

Tiya yang pernah mengasuh English News Service di TVRI pun tergerak. Mantan MC (master of ceremony) di istana sejak era Presiden Soeharto, B. J. Habibie, serta SBY itu bertekad bisa tersertifikasi oleh AIIC. Agar bahasa Indonesia semakin sering digunakan di konferensi-konferensi internasional. Namun, persoalannya, syaratnya tak mudah. Tiya harus memiliki jam kerja minimal 500 jam.

Dia juga mesti mengantongi surat rekomendasi dari banyak juru bahasa dari negara lain. Para juru bahasa itu, antara lain, penutur asli bahasa Inggris. Ada pula yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris.

“Mereka harus mendengar saya menginterpretasikan orang yang ngomong pakai bahasa Indonesia, saya omongkan lagi pakai bahasa Inggris,” katanya.

Selanjutnya, tambah Tiya, kefasihan bahasa Inggris dirinya diteliti. “Suara saya jelas terdengar atau tidak, konten yang diinterpretasikan juga harus sesuai,” urainya.

Selain itu, Tiya harus mempunyai pengalaman menjadi juru bahasa di berbagai ajang konferensi internasional. Akhirnya, Tiya pun berhasil. Pada 2016 Tiya menjadi juru bahasa pertama dari Indonesia yang diakui AIIC.

Tiya pun masuk daftar pertama yang dicari organisasi-organisasi tersebut jika membutuhkan juru bahasa Indonesia. Tiya juga berhak mengetes juru bahasa lain dari Indonesia yang belum tersertifikasi untuk ikut event internasional.

Setelah Tiya mengantongi sertifikat, sang kakak, Inanti Pinantikasih Diran, menyusul. Dosen UI itu juga menjadi juru bahasa yang diakui AIIC.

Seperti sang adik, Inanti melewati rute yang sama beratnya untuk akhirnya bisa mendapat sertifikat dari AIIC. Begitu pula dengan Tengku Malinda. Mereka harus menambah jam kerja, meminta surat rekomendasi sampai ke banyak negara, dan meningkatkan kualitas interpretasi mereka.

“Dengan adanya tiga orang ini, maka kebanggaan buat Indonesia karena bahasa kita semakin diakui dunia. Sebab, sekarang PBB dan organisasi-organisasi afiliasinya wajib mem-provide juru bahasa Indonesia kalau di situ ada orang Indonesia yang hadir,” lanjutnya.

Kini Tiya sudah menghadiri banyak konferensi internasional di berbagai negara. Beberapa event bergengsi yang diikutinya adalah G7 Summit Outreach Program di Ise-Shima, Jepang, tahun 2016; ASEAN-Australia Summit di Sydney, Australia, pada Maret lalu; dan tentu saja, pertemuan tahunan IMF-World Bank Group di Bali pertengahan Oktober lalu.

Berbeda dengan Tiya, sang kakak, Inanti Diran, sangat terkesan saat menjadi juru bahasa pada pembukaan Disneyland Hongkong pada 2005. Dia ingat, waktu kecil, dia sangat nge-fans karakter Micky Mouse dan Minnie Mouse.

Dia ingin bertemu keduanya, tapi tak kunjung kesampaian. “Eh, pas sudah tua, baru, ketemu di Hongkong. Melihat mereka menari-nari, saya teriak-teriak, aaaaaa… aaaa… Mickey Mouse… Dalam hati, hahahaa,” selorohnya.

Tapi, saat Mickey Mouse dan Minnie Mouse lewat di depannya, dia tak bisa jingkrak-jingkrak dan teriak. Harus profesional dan menahan ekspresi.

Inanti sempat beberapa kali menjadi juru bahasa di event yang sama bersama Tiya. Bagi dia, bisa bekerja bersama sang adik sangat mengasyikkan. Misalnya di ASEAN-Australia Summit di Sydney pada Maret lalu.

Menjadi juru bahasa, kata Inanti, tidak bisa sembarangan. Dia harus bisa mendengar, menganalisis, dan berbicara dengan bahasa yag berbeda pada saat yang bersamaan. Dia juga harus rajin-rajin berselancar mengenai konten acara yang akan diikuti.

Jika acaranya fun, dia harus fun. Jika acaranya konferensi yang sifatnya formal, dia juga harus belajar terlebih dahulu.

Contohnya, ketika dia menjadi juru bahasa pada acara diskusi ekonomi Asia pada pertemuan IMF-World Bank Group pekan lalu. Dia harus mencari tahu, bagaimana kondisi ekonomi Asia saat ini.

Tak hanya menjadi anggota AIIC, Inanti juga telah mendirikan organisasi serupa di Indonesia. Namanya Association of Indonesian Conference Interpreters (AICI). Organisasi itu menaungi para juru bahasa konferensi di Indonesia. Inanti juga aktif mengajar para juru bahasa untuk istana serta para ASN yang mempunyai jabatan fungsional sebagai juru bahasa.