Pengalaman melakukan Penjurubahasaan Konsekutif.  Apakah Lebih Sulit dari Penjurubahasaan Simultan 

 

Ada dua mode dalam dunia penjurubahasaan, yaitu mode simultan dan mode konsekutif.

Menurut Seleskovitch (1978) dan Nababan (2004), penjurubahasaan konsekutif tergolong pengalihbahasaan yang klasik. Dalam melakukan tugasnya, seorang juru bahasa tidak dilengkapi dengan peralatan-peralatan seperti microphone dan headphone. Nababan (2004: 26) menambahkan bahwa pada pengalihbhasaan jenis ini memungkinkan seorang juru bahasa  untuk membuat catatan-catatan tertentu (note taking) atas apa yang didengarkan dari si pembicara.

Seleskovitch (1978: 123) mengatakan bahwa ‘in consecutive interpretation, the interpreter does not start speaking until the original speaker has stopped. He therefore has time to analyze the message as a whole, which makes it easier for him to understand its meaning…’. Jadi, dalam hal ini seorang juru bahasa diberikan kesempatan jeda waktu beberapa detik untuk mengalihkan tuturan dari pembicara ke pendengar dan diberi kesempatan untuk membuat catatan-catatan selama proses pengalihbahasaan dan juga diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada pembicara tentang maksud dari penyataan si pembicara.

Apa yang dimaksud dengan penjurubahasaan simultan?

Seleskovitch (1978:125) menungkapkan bahwa ‘in simultaneous interpretation, the interpreter is isolated in a booth. He speaks at the same time as the speaker and therefore has no need to memorize or jot down what is said.’ Senada dengan apa yang diungkapkan oleh Nababan (2004: 27) bahwa pada waktu yang bersamaan juru bahasa dan pembicara melakukan tugasnya masing-masing. Juru bahasa tidak mempunyai kesempatan untuk membuat catatan-catatan karena tidak ada jeda antara proses penyampaian tuturan dan pengalihbahasaan.

Saya memiliki pengalaman sebagai juru bahasa selama kurang lebih sembilan tahun. Dan selama sembilan tahun mendalami profesi tersebut, saya merasa bahwa baik penjurubahasaan konsekutif maupun penjurubahasaan simultan memiliki tantangannya tersendiri. Kedua jenis penjurubahasaan sama-sama memberikan rasa mulas di perut setiap kali saya mau memulai pekerjaan.

Menurut saya, keberhasilan seorang juru bahasa dalam mengalihkan bahasa, apapun jenisnya, sungguh tergantung dari persiapan kita sebelum melakukan tugas. Sehebat apapun penguasaan bahasa kita, akan sia-sia jika seorang juru bahasa tidak menguasai materi dan tidak percaya diri. Namun, dalam penjurubahasaan Konsekutif, kalau si juru bahasa tidak percaya diri dan tidak menguasai materi, maka akan grogi dan hilang kendali terlebih lagi jika tidak terbiasa menjadi pusat perhatian.

Suatu ketika, pada awal tahun 2015, saya diminta oleh lembaga donor dari Amerika Serikat untuk menjadi juru bahasa di acara penutupan proyeknya di kota Mataram. Saat itu, client meminta saya untuk melakukan penjurubahasaan secara berbisik (whispering interpreting) untuk seorang pejabat tinggi organisasi tersebut. Whispering? Gampaaaaaang, batin saya.

Pada hari H, saya memasuki ruangan dan sambil menunggu acara di mulai, saya baca-baca artikel terkait proyek ini, agar semakin paham konteks. Saya perhatikan pejabatnya (yang tentunya orang Amerika) belum muncul di lokasi. Setengah jam sebelum acara, panitia acara tergopoh-gopoh menghampiri saya dan mengatakan bahwa ada perubahan rencana. Pejabat yang saya akan bantu ternyata adalah pejabat nomor wahid organisasi tersebut, alias Head of Mission. Waktu itu saya tidak paham kenapa panitia terlihat panik. Rupanya, panitia mengatakan bahwa si Head of Mission harus menyampaikan Keynote Speech, dan mereka tidak memiliki salinan keynote speech dari si Head of Mission

Wajah saya pucat. Sedikit panik dong sayaaaa. Kenapa? Karena saya belum tahu hal-hal penting apa saja yang beliau akan sampaikan ke peserta acara penutupan, terlebih lagi, peserta penutupan proyek ini  adalah para Kepala Daerah di Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat beserta jajarannya, mulai dari Gubernur, Bupati, Walikota, Kepala Dinas dan lain lain. Saya sempat takut karena merasa belum siap, terlebih lagi saya hanya diminta untuk melakukan whispering interpreting saja.

Lalu masuklah sang Head of Mission ke dalam ruangan. Hal pertama yang saya lakukan adalah bersikap tenang dan memperkenalkan diri ke beliau sebagai juru bahasa. Head of Mission tersebut sangat ramah dan langsung mengajak saya duduk di sebelahnya. Saya menggunakan kesempatan itu untuk bertanya apakah beliau dapat memperlihatkan keynote speech-nya.  Beliau tersenyum dan mengatakan “I have all of my speech inside my head. So please bear with me”.

Mateng deh. Semuanya ada di dalam kepalanya. How am I supposed to know what’s inside your mind? Makin pucet deh saya hahahaha.

Untungnya setiap kali saya mendapat tugas penjurubahasaan, saya selalu membawa note-book saya untuk melakukan note-taking. Kemudian, saya meminta beliau, kalau dimungkinkan, menyampaikan pidatonya secara pelan-pelan, atau bertutur setiap tiga paragraf saja kemudian jeda agar saya boleh mengingat dan mencatat pesan yang beliau sampaikan.

Lagi-lagi si Head of Mission yang mirip sekali dengan Alan Alda (pameran Hawkeye Pierce dalam film seri perang berjudul M*A*S*H) tersebut menjawab dengan bercanda, “Marina, I might share some jokes ha ha ha”.  Haduh mau kasih jokes. Beliau ini mungkin punya bakat jadi stand-up comic, tapi semua juru bahasa tahu, yang namanya JOKES itu susah sekali diterjemahkan karena terkadang tidak dipahami secara konteks lokal. Bisa-bisa malah hasil terjemahan saya terdengar garing dan peserta tidak ikut tertawa. Pasrah 

Akhirnya saya hanya menarik nafas saja panjang-panjang dan mengucap mantra “everything is going to be just fine” berkali-kali. Saya toh adalah orang yang percaya diri. Kenapa? Karena saya menguasai materi. Ketika client menghubungi saya dan kontrak sudah diberikan, saya langsung mencari tahu segala hal mengenai proyek ini. Saya pelajari dan saya catat istilah-istilah yang mungkin tidak lazim dan tidak pernah saya dengar sebelumnya. Kemudian saya latihan sendiri dengan youtube. Saya pasang pidato seseorang dan saya pause, kemudian saya terjemahkan seolah-olah saya melakukan penjurubahasaan secara konsekutif. Latihan itu perlu. Practice makes Perfect. Kalimat ini adalah slogan andalan saya dalam bekerja

Percaya diri juga penting sekali dalam teknik penjurubahasaan seperti ini. Kalau tidak PD dilihat jutaan umat ketika kita berada di panggung, ya sudah pasti kita akan grogi, demam panggung dan akhirnya berantakan. Setiap kali saya ke panggung, saya selalu berpura-pura menganggap bahwa para peserta tidak jago Bahasa Inggris (atau Bahasa Indonesia) sehingga membantu mengurangi beban pikiran saya bahwa seseorang akan menghakimi pilihan kata saya.

Penjurubahasaan Simultan memang memungkinkan para juru bahasa untuk bersembunyi di dalam booth sehingga tidak terlihat oleh ratusan pasang mata ketika bekerja, makanya tidak banyak juru bahasa yang berani ambil pekerjaan konsekutif karena ketakutan dan malu. Jangan! Kuncinya adalah kuasai materi, jadilah pendengar yang baik, lakukan note-taking yang tepat, lakukan latihan rutin di rumah dan percayalah sama kemampuan diri sendiri!

Kelima resep tersebut akhirnya membuat saya berhasil melakukan pekerjaan saya di depan panggung dan si bapak Head of Mission berkali-kali mengucapkan terima kasih atas penampilan saya, yang menurut beliau “you oozed confidence, young lady. I may not understand what you were saying, but I can tell that you impressed the audience with your confident body language.”

Puji Tuhan, lembaga tersebut, melalui berbagai proyek mereka di Indonesia, sering kali menggunakan jasa saya sampai detik ini.

 

Semoga rekan-rekan juru bahasa yang membaca artikel ini tidak lagi takut mengambil tawaran pekerjaan untuk penjurubahasaan konsekutif yah!